Diposting pada 29 September 2020, 08:02 Oleh PATRIAWATI NARENDRA, S. KM, M.K.M
Transisi
orde baru ke reformasi memberi dampak perubahan dalam peta perpolitikan
nasional. Sistem demokrasi yang dijalankan membawa banyak kebijakan baru
sehingga membuka peluang bagi siapa saja untuk menjadi politikus, akibatnya
siapa saja bisa masuk dalam dunia politik. Memang tidak ada yang salah dengan
itu, tetapi menjadi masalah manakala dominasi politik transaksional menjadi
jurus ampuh untuk mendapatkan jabatan.
Amanat reformasi bahwa
diperlukan pemerintahan yang bersih dan berpihak pada kepentingan rakyat kecil
masih sebatas mimpi. Sebabnya adalah makin masifnya praktik politik
transaksional dalam sistem politik di Indonesia dan telah menjadi trend di kalangan
politikus dan pemangku kebijakan publik dari lahir dari proses politik. Bukti
konkrit adalah banyak menjadi pesakitan di KPK. Mulai pimpinan partai politik,
legislator, menteri, dan lain-lain tersangkut kasus korupsi yang juga
melibatkan jaksa, hakim, aparat keamanan, bahkan hakim konstitusi, jadi lengkap
sekali.
Politik transaksional, mengutip Boissevain,
dalam Sulaiman Nizam (2002:82) adalah hubungan pertemanan atau persaudaraan
dalam setiap pendekatan untuk memenuhi permintaan. Faktor persahabatan adalah
penting dan jadi keutamaan. Pada kondisi tertentu pendekatan transaksional
meletakkan peran individu lebih dominan, dan tidak terikat kepada peraturan
atau sistem. Jadi politik
transaksional merupakan suatu sistem politik yang egoistis karena mengedepankan
kepentingan pribadi dan golongan tanpa menghirauan beban penderitaan rakyat.
Politik transaksional hanya akan melahirkan politikus-politikus kapitalis dan
apatis terhadap beban penderitaan rakyat.
Politik Transaksional yang berupa uang atau
barang dari aktor politisi maupun dari tim sukses yang terjadi sangat tidak mendidik. Selain mencederai sistem
demokrasi yang sedang dibangun bersusah payah, selanjutnya aktor politik akan
terus mendidik rakyat dengan tingkah laku politik yang merusak. Parahnya
fenomena ini sering luput dari perhatian orang banyak, mengenai
akses dan penggunaan uang dalam politik. Praktek politik kepartaian dalam era
pasca otoritarianisme juga menunjukkan bagaimana diskusi mengenai akses,
penggunaan dan arus uang dalam politik sebagai model politik transaksional,
cenderung diabaikan. Padahal akar persoalan utama demokrasi negara seperti
Indonesia ada pada titik ini.
Politik transaksional adalah memperdagangkan politik dan segala hal tentang kebijakan kekuasaan kewenangan, ada yang menjual dan ada yang membeli, sehingga kredo yang berkembang di tengah masyarakat adalah politik sarat dengan tukar-menukar jasa, proses transaksional. Artinya, terjadi transaksi antara politikus dengan cukong dan konstituen yang diwakili maupun dengan partai politik.
Gb. 1 Model Politik Transaksional
Ongkos
Politik yang Mahal
Akar dari fenomena politik transaksional ini bermula dari partai politik
yang menganut paham oligarki, kaderisasi dan rekrutmen yang tidak solid dan
berjenjang, dan mahar diinternal parpol. Seseorang yang maju di pileg, pilkada
bahkan pilpres harus mengeluarkan uang untuk mendapatkan kendaraan bernama
surat rekomendasi partai. Setelah itu baru masuk pada biaya kampanye dan
keperluan lainnya. Harus mengeluarkan uang banyak. Jika tak punya modal sendiri
maka ongkos gelap datang dari para
bandar/cukong. Mereka datang berinvestasi dalam kontestasi politik, tentu saja
tidak gratis, dibelakang terjadi transaksi jabatan dan akses kemudahan bila si calon
terpilih, sebagai profit dalam bentuk non tunai yang harus dibayarkan kepada
cukong.
Dalam logika bisnis, modal yang sudah dikeluarkan tersebut harus kembali
untung atau minimal impas. Padahal besarnya gaji bulanan yang disediakan oleh
negara kepada para politikus yang menduduki berbagai jabatan legislatif dan
eksekutif belum tentu bisa mengembalikan modal yang pernah dihabiskan, sehingga
korupsi menjadi jalan pintas yang untuk mengembalikan atau mencari keuntungan
setinggi-tingginya dalam jangka waktu singkat.
Praktik
haram ini dengan mencaplok APBN/APBD, BUMN/BUMD, izin konsensi, fee proyek, pemberian kuota impor, dan
lain-lain. Kenyataannya menjadi arena bagi-bagi kue, sebagai contoh pembagian kuota impor
pangan. Ini terjadi sejak lama dan tak ada perubahan signifikan. Kalaupun ada
Menteri terkait yang sudah berusaha untuk tidak melakukan bagi-bagi kuota ini
dan menyetop impor ketika stok dan kebutuhan tercukupi, masih ada saja
cukong-cukong politik menekan berbagai pihak termasuk dari sesama Menteri dan parasit
politik. Ini tentu menguatkan apa yang dikatakan Slutsky (1977) bahwa ketika
intensitas pilihan berbeda-beda maka akan terjadi situasi dimana politisi atau
kelompok politik yang satu akan memberikan dukungan terhadap kebijakan politisi
atau kelompok politik lain dengan imbalan dukungan terhadap kebijakan sehingga
program kebijakan (dalam hal ini impor) bisa lolos (Caporaso dan Levine,
2008:331).
Sekedar untuk Meraih Kekuasaan
Para pemikir Frankfurt School mengungkapkan bahwa dunia politik adalah
panggung transaksional antara kepentingan ekonomi (bisnis) dan politik
(kekuasaan). Bahwa puncak kesuksesan politik adalah mampu meraih kekuasaan dan
mampu meraup pundi-pundi ekonomi yang dapat menyejahterakan para politikus dan
kelompoknya. Sedangkan teori ekonomi politik melihat puncak kekuasaan bukan untuk
meraih kekuasaan dan mengakses sumber-sumber kemakmuran untuk pribadi dan
kelompok, melainkan untuk memperjuangkan kepentingan bersama (publik). Dan
sampai saat sekarang teori ini belum terjewantahkan dalam realitas kehidupan.
Logika politik transaksional, sadar atau tidak sadar, telah ikut mempengaruhi
jalannya kehidupan politik. Sehingga menyebabkan para politikus berpikir
praktis dan menyederhanakan segala tujuan demi memenuhi ambisi untuk berkuasa.
Politik transaksional memang bisa memuluskan ambisi para politikus menduduki
berbagai jabatan mentereng. Akan tetapi itu bisa mengakibatkan buruknya
kualitas moral para politikus itu sendiri, sebab mereka berpikir bahwa dengan
bermodalkan uang banyak bisa memuluskan karier politik.
Ada semacam paradoks dalam hajatan lima tahunan demokrasi di Indonesia, nyaris
tidak ada substansi dan makna yang signifikan, sosok atau figur sering kali
menjadi penentu utama keberhasilan politisi dalam memenangkan pemilihan
ketimbang agenda program yang
ditawarkan. Dalam pemilihan jabatan politik, kerap diwarnai calon-calon dari
latar belakang partai politik (ideologi) berbeda namun mengusung agenda dan
program yang sulit dibedakan satu sama lain. Padahal agenda programatik
merupakan roh utama dalam setiap upaya penyelenggaraan pemerintahan.
Dengan kondisi seperti itu, kontestasi politik dalam demokrasi Indonesia
lebih mirip pertandingan antara individu dan figur ketimbang pertandingan
antara agenda atau program yang ideologis, dan koheren. Sementara partai
politik alternatif masih belum terkonsolidasi dan menjadi kekuatan yang
diperhitungkan. Situasi semacam ini jelas merugikan rakyat kecil,sulit untuk
merubah kehidupan wong cilik menjadi lebih baik. Rakyat kecil hanya digunakan
sebagai kuda tunggangan untuk mencapai tampuk kekuasaan. Pemilu hanya sekedar hiburan
tontonan rakyat.
Dampak
Politik Transaksional
Implikasi
dari politik transaksional akan melanggengkan budaya korupsi dan donatur
politik dapat memuluskan bisnisnya serta mendapat tempat strategis dalam pemerintahan.
Singkatnya praktik politik ini akan menghasilkan pemimpin yang melayani kepentingan
kelompok bukan menjadi pelayan rakyat, karena ketika kemenangan diperoleh
muncul pola korupsi baru yang dilakukan kelompok elit baru hasil pemilu atas
APBN atau APBD. Agaknya literatur lama tentang hukum besi oligarki (The
Iron Law Oligarchi) yang ditulis Robert Michels (1911) jauh lebih
terlihat dibanding pemerintahan yang demokratis untuk kepentingan rakyat. Akhirnya masyarakat menjadi korban
keserakahan dan kesewenang-wenangan penguasa yang sudah terlindungi kebijakan
pro penguasa dan oligarki.
Hal
ini tidak jauh berbeda dengan laporan hasil Survei KPK (2018) yang menemukan
berbagai kebijakan dapat dibeli dari proses pencalonan baik kepala daerah
maupun presiden.Survei menemukan, setidaknya ada tujuh harapan donatur
pencalonan kontestasi politik kepada calon, yakni kemudahan perizinan terhadap
bisnis yang telah dan akan dilakukan, kemudahan akses menjabat di pemerintahan,
kemudahan ikut serta dalam tender proyek pemerintah, keamanan dalam menjalankan
bisnis yang ada, mendapatkan akses menentukan kebijakan, peraturan pemerintah
serta mendapatkan bantuan untuk kegiatan sosial atau hibah.
Sedari
awal para cukong politik ini memahami pemerintah memiliki power untuk
menentukan arah kebijakan perekonomian, sehingga celah ini dimanfaatkan para
donatur untuk menguasai sektor-sektor perekonomian. Batasan dan syarat-syarat
yang ditentukan tak jarang hanya dijadikan formalitas dan bisa ditembus melalui
jalur lobi politik, bahkan dari saat proses pencalonan sudah terjadi transaksi
didalamnya. Menyetir Erward Aspinall dalam buku Democracy For Sale (2019) fenomena semacam inilah yang disebut
klientalisme yang menjadi pemicu tumbuh suburnya politik uang. Para politisi
memberikan uang tunai atau barang kepada masyarakat atau pemilih untuk
memenangkan pemilihan. Sumber pendanaan didapatkan dengan memperjual belikan
kontrak, perizinan, dan manfaat-manfaat lainnya pada pengusaha.
Tidak
heran jika dalam Global Wealth Report
2018 yang dirilis Credit Suisse Research menunjukkan bahwa 1 persen orang
terkaya di Indonesia menguasai 46,6 persen total kekayaan penduduk dewasa.
Sementara 10 persen orang terkaya menguasai 75,3 persen total kekayaan
penduduk. Artinya pembangunan yang dilakukan pemerintah selama ini hanya
dinikmati oleh sebagian segelintir orang. Kondisi ini juga menunjukkan bahwa
ketimpangan kekayaan di Indonesia masih cukup tinggi. Hal ini menciderai
ideologi Negara yaitu pancasila yang juga dijadikan arah kiblat ekonomi Negara.
Upaya
Perbaikan
Untuk mencicil dan menghasilkan pemimpin yang jujur, adil dan berjuang untuk rakyat, ada beberapa elemen yang harus diperbaiki dan ditingkatkan:partai politik harus demokratis dan melakukan rekrutmen yang transparan, politisi yang berkualitas, dan pemilih cerdas.
Parpol yang kuat dan
sehat sangat diperlukan, agar menghasilkan aktor-aktor politik yang berkualitas
dan beradab. Agar parpol menjadi berkualitas dan beradab maka oligarki harus
dihilangkan, kaderisasi berjalan dan konstitusi partai (AD/ART) difungsikan. Tujuannya
agar negara dijalankan dengan baik sesuai cita-cita bersama yang telah
diamanatkan dalam konstitusi.
Setelah itu baru parpol dapat kembali menjalankan fungsi-fungsinya seperti: (1). Sebagai sarana komunikasi politik. Dalam hal ini parpol berfungsi sebagai media atau perantara antara rakyat dengan pemerintah. Fungsi tersebut dilaksanakan dengan mendengarkan, menggabungkan, dan merumuskan aspirasi yang berasal dari masyarakat, lalu dituangkan dalam bentuk program partai; (2).Sebagai sarana sosialisasi politik. Dalam proses sosialisasi, parpol berfungsi untuk menyebarluaskan dan menerangkan serta mengajak masyarakat menghayati norma dan nilai politik. Melalui kegiatan ini parpol ikut membina serta memantabkan norma dan nilai politik yang berlaku di masyarakat; (3).Sebagai sarana rekrutmen politik.Parpol juga berfungsi untuk mencari dan mengajak orang yang berbakat dan berkualitas untuk berpartisipasi dalam kegiatan politik sebagai anggota partai. Dengan demikian, partai politik turut serta dalam memperluas partisipasi politik masyarakat.
Politisi setidaknya harus memenuhi syarat: kemauan (panggilan hati nurani) untuk mengabdi, integritas (tidak tergoda dengan imbalan materi yang bukan haknya, dan godaan duniawi lainnya), kapabilitas dalam arti kemampuan kognitif dan psikomotorik, dan terakhir adalah kepercayaan (trust) bahwa jabatan merupakan amanah dan pengabdian bukan untuk menumpuk kekayaan. Persyaratan tersebut tidak bisa dipisahkan.
Dalam
upaya melahirkan pemilih cerdas diperlukan pemetaan atas kondisi pemilih.
Penulis mencermati setidaknya ada 4 karakter pemilih. Pertama, pemilih awam. Pemilih
awam adalah mereka yang tergolong warga negara yang minim informasi mengenal
politik, khususnya mengenai pemilu. Sehingga memiliki kecenderungan untuk
memilih apa saja. Kedua, pemilih pemula terdidik. Pemilih pemula terdidik
adalah mereka yang tergolong memiliki informasi mengenai politik, khususnya
pemilu, dan baru pertama kali ikut pemilu. Sehingga kegamangan pilihan bisa
saja terjadi. Ketiga, pemilih primordial subyektif. Pemilih primordial
subyektif adalah mereka yang tergolong anggota partai peserta pemilu atau
simpatisan, sehingga secara subyektif pasti memilih partainya atau calon kepala
daerah dari partainya. Keempat, pemilih rasional kritis. Pemilih rasional
kritis adalah mereka yang secara rasional sadar politik dan secara kritis bisa
mencermati visi, program, bahkan tau persis sepak terjang calon kepala daerah
dari suatu partai, sehingga bisa berfikir rasional sebelum menjatuhkan pilihan.
Pejabat dan
Politisi korup merupakan manifestasi dari sistem politik
transaksional dan mempunyai keterkaitan dengan kejadian kasus korupsi pejabat
negeri yang mana memiliki dampak buruk terhadap kemajuan bangsa dan negara
karena akan melahirkan pejabat-pejabat dan politisi korup, yang mempunyai
mindset materialistis dan menuhankan uang dalam praktek kehidupan berbangsa dan
bernegara, dan egoistis hanya untuk meraih keuntungan pribadi dan kelompoknya.
Penyalahgunaan
wewenang dan kekuasan menjadi suatu keharusan bagi pelaku politik yang
mempunyai sistem transaksional, paham “Untung” haruslah tercapai agar dapat
memenuhi pembiayaan politik untuk melanggengkan kekuasaannya, sistem ini
sekaligus dapat melemahkan sendi kehidupan berbangsa dan benegara, melemahkan
kualitas kehidupan rakyat dan mengingkari demokrasi pancasila yang mana hanya
ingin meraih keuntungan pribadi sebanyak-banyaknya dan digunakan untuk
kepentingan pribadi dan kelompoknya.
Pelaksanaan
Pemilukada yang membutuhkan biaya politik yang cukup besar juga dapat memicu
kasus korupsi kepala daerah. Sistem transaksional akan menimbulkan sejumlah
permintaan-permintaan atas kebutuhan biaya politik yang akan mengakibatkan pada
penjualan wewenang dan jabatan untuk kepentingan pribadi dan kelompok. Sistem
tersebut juga sebagai upaya untuk melanggengkan ambisi kekuasaan dan jabatannya
sehingga dengan berbagai cara dan upaya akan mengeksploitasi sumber-sumber
kegiatan ataupun kebijakan yang bisa menghasilkan uang. Pengingkaran terhadap
amanah rakyat sudah pasti terjadi dan akhirnya rakyat pula yang menanggung
derita atas sistem politik transaksional yang terus terjadi di negara
Indonesia. Aspirasi rakyat menjadi topeng atas keserakahan pejabat dan politisi
korup, amanah menjadi barang kiasan yang tidak dikenal namun sebaliknya
kepentingan pribadi dan kroni merupakan suatu kewajiban yang harus ditunaikan
dan diselesaikan sungguh terbalik mindset pemikiran dari sistem politik
transaksional. Fenomena korupsi politik ini menjadi ancaman serius
bagi kualitas demokrasi di Indonesia secara keseluruhan.
PATRIAWATI NARENDRA, S. KM, M.K.M
Staf Dinas P3AP2 & KB
Kabupaten Tegal
Penyuluh Anti Korupsi KPK RI 2019
Awardee PPSDM Scholarship Kemenkes RI 2017
Penulis Terbaik Mozaheksa PPI Perancis 2016
Juara 1 Penulis Veteran’s Day Aminef Fulbright USA 2015