Diposting pada 02 October 2019, 07:40 Oleh Prabowo Bayu Sasongko, S.Kom - PHL pada DISKOMINFO Kab. Tegal
Sebentar lagi masyarakat Kabupaten Tegal akan melangsungkan pemilihan kepala desa (Pilkades) gelombang ke-3, November 2019 mendatang. Perhelatan akbar dalam rangka memperebutkan kursi Kepala Desa adalah salah satu wahana pembelajaran politik bagi warga desa. Tetapi pilkades adalah proses demokrasi tingkatan paling kecil dengan potensi gesekan yang besar.
Tentu dasar pemikiran dari diadakannya kegiatan politik yang berasas demokrasi ini bukanlah untuk memecah belah. Kita mungkin sama-sama mengetahui bila kegiatan enam tahunan ini bukan hanya persoalan kompetisi saling rebut kuasa dan jabatan, tetapi sebagai suatu bentuk upaya untuk mencapai suatu keadilan dan kesejahteraan umum.
Seyogyanya, setiap calon dan Timses memberikan sentuhan-sentuhan politik yang mengedukasi warga. Tentu saja edukasi politik yang mengarah para hal posisif dan berguna bagi masyarakat desa secara keseluruhan. Akan menjadi pertanyaan bagaimana dan siapakah yang mungkin dapat memperjelas serta meminimalisir fenomena seperti yang telah disebut? salah satunya adalah generasi muda.
Kenapa pemuda? sederhana saja. Potensi Generasi muda desa tidak boleh dipandang sebelah mata, karena tidak sedikit pemimpin bangsa lahir menjadi anak desa, di desalah mereka diperkenalkan moral Indonesia yang sesunguhnya. Dimana masih sangat hidup arti kesederhanaan, kebersamaan, gotong royong, tenggang rasa, saling menghargai satu sama lain.
Pemuda adalah masa depan, Generasi muda adalah bagian masyarakat yang potensial dalam membangun suatu perubahan. Sejarah membuktikan bahwa kehadiran dari Gerakan yang diprakarsai oleh golongan muda, sangat efektif dalam melawan status quo negatif serta berbagai kemandekan yang terjadi pada masyarakat atau bangsa tertentu.
Ini tidak seperti membalik telapak tangan tentunya karena yang kita hadapi adalah status quo atau kebiasaan yang telah menjamur di masyarakat. Tetapi perubahan tidak berarti tidak mungkin, bukan?
Dalam event ini kita juga jarang melihat munculnya sikap saling menerima perbedaan dari setiap warga desa. Seakan mereka yang bukan golongannya adalah salah, dan kebenaran hanya milik kelompoknya saja. Tafsir bahwa kebenaran dikooptasi oleh sekelompok orang ini yang memunculkan sikap anti terhadap mereka yang berbeda, salah satunya adalah beda calon. Padahal jika dipikir-pikir, ikatan ke-tetangga-an atau bahkan kekeluargaan yang telah mereka bangun selama bertahun-tahun, rasa-rasanya 'kok sayang sekali apabila harus ditukar dengan ajang enam tahunan seperti pilkades ini.
Kegiatan dan kelembagaan kepemudaan desa dapat dijadikan sebagai media yang efektif untuk berkumpul, berbagi inspirasi, dan membuat kreatifitas. Namun, dalam membangun desa memungkinkan munculnya permasalahan, maka pemuda diharapkan mampu menciptakan inovasi agar semangat dalam membangun desa tidak berdampak dengan budaya dan adat istiadat desa.
Pemuda bisa membuat suatu kelompok seperti Karang Taruna dan kelompok kepemudaan desa guna mempropagandakan sikap yang demokratis. Dari perkumpulan ini diharapkan bisa lahir sebuah program yang digagas oleh mereka untuk mempertemukan para calon untuk saling membeberkan visi dan misi masing-masing, serta untuk saling serap aspirasi sehingga salah satu calon yang terpilih bisa menerima agenda-agenda dari calon yang lain apabila dirasa bagus dan perlu.
Kegiatan ini tidak seperti debat capres yang lebih mendekati debat kusir. Tetapi satu kegiatan untuk saling mengutarakan gagasan atau ide agar kemudian bisa saling tukar pikiran. Efek yang diharapkan timbul adalah tetap terjalinnya silaturrahmi dari kedua calon, serta sikap saling menerima dengan setiap keputusan. Bukankah menyenangkan apabila kita hidup dalam desa dengan para pemimpin serta masyarakatnya yang toleran?
Pemuda diharapkan bisa merangsang Kritisisme Warga Desa. Rata-rata pemilih memilih berdasarkan sentimen hubungan akrab, rasa tidak enak, atau pertimbangan lain yang sejatinya tidak ada kaitannya dengan suatu pemerintahan desa itu sendiri. Istilah politisnya adalah pemilih dengan pertimbangan sosiologis, bukan rasional.
Mungkin banyak yang menyangkal dengan berucap, "lah.. sapa bae kadese, paling ya inyong ajeg dadi kuli !” (siapa saja kadesnya, saya paling tetap jadi buruh). Pada satu pihak pendapat ini mungkin ada benarnya. Tetapi di lain pihak, pendapat seperti ini salah besar.
Memang mungkin saja tetap jadi buruh. Tetapi kebijakan distribusi pasar, harga sembako, lapangan pekerjaan, dana bantuan, atau upaya pembenahan desa, tentu akan sangat berubah. Beberapa hal yang telah disebut akan sangat bergantung pada kebijakan para pemimpin mereka dari tataran pemimipin negara, sampai pada pemimpin desa. Kita harus pahami bahwa suatu kebijakan politik hampir mempengaruhi sebagian besar dari kehidupan kita. Karenanya, sudah saatnya kita mulai peduli dan tidak lagi acuh pada kegiatan politik di desa ini. Terutama generasi muda yang sudah pasti akan mengisi zaman berikutnya.
Sudah saatnya Generasi muda ambil bagian dalam perhelatan demokrasi Desa, ambil peranan yang penting dalam menentukan arah masa depan desa. muda adalah potensi. Bonus demografi harus bermula di desa. tentu dengan kolaburasi positif antara generasi enom dan sepuh. Sehingga kerja sama kolaburatif antara anak muda yang punya tenaga dan kekuatan, dan orang tua yang punya pengalaman dan kebijaksanaan/terciptanya kekuatan konseptor dan eksekutor yang efektif. Hal ini terkadang belum terbagun, sebab berbagai benteng yang menghalangi.
Generasi muda memiliki potensi untuk memimpin pembangunan di desa. Mereka mampu menjadi energi berkelanjutan pembangunan desa dengan pemikiran-pemikiran Zaman Now. Dalam perkembangan zaman yang semakin canggih dan teraktual, aktivitas generasi muda sangat akrab dengan kecepatan informasi dan perkembangan teknologi. Hal ini dipercaya menjadi modal besar bagi generasi milenial untuk tidak lagi acuh terhadap pembangunan di desa.
Referensi