Paperless dan Tantangannya di Indonesia


Diposting pada 18 February 2020, 08:47 Oleh AGUNG R PAMUNGKAS


Abstract— Kertas memiliki manfaat yang sangat besar dalam kehidupan kita sehari-hari. Di sisi lain, kertas memiliki dampak negatif yaitu menyebabkan peningkatan gas CO2 yang menyebabkan pemanasan global. Oleh karena itu penggunaan kertas perlu dikurangi dengan cara mengubah dokumen kertas menjadi bentuk digital atau disebut juga paperless. Paperless diklaim dapat menghemat uang, meningkatkan produktivitas, menghemat ruang, membuat dokumentasi dan berbagi informasi lebih mudah, menjaga informasi pribadi lebih aman, dan membantu menyelamatkan lingkungan. Saat ini banyak sekolah, perkantoran, industri, sarana kesehatan yang menerapkan kebijakan paperless. Namun upaya untuk benar-benar paperless jarang berhasil. Paper ini membahas penerapan paperless dan tantangannya di Indonesia pada khususnya dan di dunia pada umumnya. Tujuan Paper ini adalah melakukan penggalian, analisis dan kombinasi hasil dari berbagai penelitian untuk merumuskan tantangan penerapan paperless yang harus dihadapi Indonesia. 

Keywords—paperless, green IT, digital media

I. PENDAHULUAN

Kertas merupakan bagian yang sangat penting dalam kehidupan kita sehari-hari dan kebutuhan dasar dalam berbagai bidang seperti perkantoran, pendidikan, kesehatan, industri. Penggunaan kertas semakin banyak seiring dengan perkembangan teknologi perkantoran. Padahal peningkatan penggunaan kertas menyebabkan peningkatan gas CO2 yang menyebabkan pemanasan global.

Salah satu cara penyelamatan lingkungan alam dari pemanasan global adalah dengan penerapan paperlessBudaya paperless sangat penting untuk mengurangi penggunaan kertas, tinta printer, dan sumber daya listrik sehingga menghemat anggaran. Konsumsi pohon sebagai bahan dasar pembuatan kertas, dan batubara serta minyak bumi sebagai bahan bakar pembangkit listrik dapat ditekan.

Produk media digital mendukung perubahan dari hardcopy ke paperless, dari buku ke tablet, dan dari interaksi fisik ke kolaborasi virtual[1]. Dengan teknologi tersebut, kita menikmati keuntungan dari data, informasi dan pengetahuan, tetapi juga bingung oleh informasi yang berlebihan, ledakan informasi, informasi palsu dan penyalahgunaan pengetahuan[2]. Oleh karena itu kita perlu meningkatkan kesadaran terhadap konsep literasi digital dan siap untuk melek secara digital dan mahir menggunakan TIK untuk mendukung proses pembelajaran, melakukan pekerjaan dengan lebih efektif dan efisien[1].

Paperless merupakan hal baru dengan pandangan transformasi digital terhadap paperless sebagai peningkatan. Namun demikian, paperless bukanlah pengorbanan satu dimensi sederhana di mana segalanya hanya bisa menjadi lebih baik tetapi jauh lebih kompleks[3].

 Terlepas dari keuntungan yang terdokumentasi dengan baik, upaya untuk benar-benar paperless jarang berhasil. Hal ini terutama dikarenakan sistem nirkertas berbasis komputer biasanya tidak mendukung semua kemampuan kertas, maupun proses kerja yang telah dikembangkan dengan sistem berbasis kertas[4].



II. LATAR BELAKANG

A. Paperless

Menurut Undang-Undang No 11 Tahun 2008, Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya[5]. Dokumen elektronik atau paperless menjadi barang bukti yang sah apabila berasal dari sistem elektronik yang memenuhi syarat berdasarkan peraturan perundang-undangan. Peraturan tersebut membuktikan adanya komitmen Pemerintah Republik Indonesia dalam penerapan paperless.

Menurut Sellen dan Harper[6], kertas memiliki tiga masalah sehingga perlu dihilangkan atau dikurangi penggunaannya yaitu :

  • Kertas merupakan simbol masa lalu yang kuno

  • Biaya pencetakan minimal dibandingkan dengan biaya awal teknologi baru, tetapi setelah sebuah perusahaan mengumpulkan banyak dokumen kertas, penyimpanan dan perawatannya sangat mahal.

  • Masalah interaksional pada kertas

Selain tiga masalah tersebut beberapa alasan untuk tidak menggunakan kertas antara lain[7] :

  • Mengurangi jumlah kertas yang digunakan;

  • Mengurangi jumlah waktu yang dihabiskan untuk mencari dan mengambil dokumen;

  • Mengurangi jumlah data duplikat;

  • Mengurangi ruang fisik untuk penyimpanan file;

  • Tingkatkan fleksibilitas penggunaan dan keamanan dokumen;

  • Meningkatkan efisiensi proses administrasi universitas;

  • Berikan dukungan 24/7

  • Tingkatkan kualitas pendidikan dengan menjadikannya lebih berorientasi pada siswa

B. Paperless Office

Gagasan utama di balik paperless office adalah bahwa, dengan menggunakan komputer pribadi dan perangkat penyimpanan data, basis data dan alat penambangan data yang dikembangkan dengan benar, kantor akan menjadi otomatis dan hemat kertas[7]. Namun pada kenyataannya seiring dengan perkembangan teknologi perkantoran, dokumentasi bekerja lebih mudah dari sebelumnya dan volume penggunaan kertas juga meningkat[7].

Penerapan Paperless Office (PLO) dapat dilihat dari penggunaan aplikasi electronic mail (e-mail) dan electronic memo (e-office memo) sebagai alat untuk berkorespondensi dalam tim kerja, pembuatan undangan pertemuan dan pembuatan Minutes Of Meeting (MOM atau catatan hasil pertemuan)[8].

Salah satu alat pendukung proses bisnis perusahaan seperti Paperless Office (PLO) adalah Green IT[8]. Green IT adalah sebuah konsep tentang penggunaan atau adopsi teknologi informasi secara efisien, bijak dan ramah lingkungan dikarenakan efek negatif dari perkembangan teknologi informasi.

Menciptakan gaya hidup pribadi atau profesional nirkertas dapat dimulai dengan beberapa penyesuaian sederhana untuk rutinitas sehari-hari seperti[9]:

  • Baca publikasi online

  • Ganti daftar "To-Do" dari kertas menjadi daftar "To-Do" elektronik

  • Memilih sistem pengarsipan elektronik daripada sistem pengarsipan kertas

  • Gunakan Tanda Tangan Elektronik kapanpun jika memungkinkan

  • Hilangkan handout yang tidak perlu dalam rapat

  • Hindari mencetak email kecuali benar-benar diperlukan

  • Investasikan dalam perangkat seluler

C. Paperless dalam pendidikan

Paperless University yang mencakup manajemen pembelajaran dan sistem interaksi sosial universitas merupakan langkah pertama menuju Smart University[7]. Teknik dan alat yang digunakan untuk mendukung proses pembelajaran secara paperless antara lain Learning Management System (LMS), penyedia video streaming online, aplikasi kolaborasi dan Massive Open Online Courses (MOOC).

Lembaga, terlepas dari ukuran dan skala, dapat mempraktikkan administrasi nirkertas yang lebih baik menggunakan ekosistem konten dan perangkat digital[10]. Skenario yang ideal dari lingkungan belajar nirkertas mungkin tidak layak dalam kenyataannya tetapi tingkat penggunaan kertas dapat diturunkan secara drastis ke tingkat minimum dengan pengetahuan yang tepat tentang siklus hidup informasi dari pembuatan hingga disposisi akhir[10].

Siswa hari ini adalah penduduk asli digital dan guru hari ini perlu mendengarkan anak-anak yang mereka ajar[11]. Belajar telah pindah ke ranah digital dan menulis diwujudkan menggunakan perangkat lunak digital.

Analisis jurnal reflektif menunjukkan bahwa dunia digital memberi siswa hubungan langsung antara upaya yang dilakukan dan hadiah yang diterima, sedangkan umpan balik atau hadiah yang diberikan oleh para guru di kelas tradisional terlalu samar atau terlalu lambat untuk memotivasi siswa untuk menjaga laju pembelajaran progresif[12].

D. Paperless dalam kesehatan

Pada bidang kesehatan, paperless dapat meningkatkan efisiensi dan akurasi data dan informasi pada Electronic Medical Record (EMR)[13]. Namun menurut Sheng, paperless di bidang kesehatan juga memiliki beberapa permasalahan antara lain hukum dan regulasi yang kurang sempurna mendukung paperless, ketidakjelasan tanda tangan digital dan Certificate Authority (CA) dan Time Stamp Authority (TSA). Menurut Kanagwa[14], implementasi paperless di negara berkembang lebih banyak mengalami tantangan dibidang infrastruktur, padahal paperless dapat meningkatkan efisiensi dan efektifitas proses bisnis.

E. Paperless dalam industri

   Banyak perusahaan berusaha melakukan produksi dengan sistem kustomisasi masal untuk menghadapi kenaikan angka varian dan meningkatnya persaingan internasional[15]. Dengan meningkatnya kompleksitas pada industri, perakitan secara manual dapat menyebabkan produktivitas yang lebih rendah dan tingkat kesalahan yang lebih tinggi[15]. Ketika sebuah perusahaan menggunakan Document Management System (DMS), tujuannya adalah mendigitalisasi berkas-berkas namun tidak mengoptimalisasi proses paperless tersebut. Informasi yang diproses sering kali sangat sensitif dan membutuhkan usaha yang besar dalam mengatur keamanan data dan mempertahankan akses kontrol yang disinkronkan dengan proses tersebut[16].

III. PAPERLESS DI INDONESIA

Di Indonesia gerakan paperless diterapkan dalam berbagai bidang kehidupan manusia seperti perkantoran, pendidikan, kesehatan. Salah satu upaya untuk mengurangi penggunaan kertas di lingkungan perkantoran adalah dengan penerapan Green ICT (Information and Communication Technology). Salah satu pendukung ICT antara lain Tanda Tangan Digital[17].

Regulasi yang mendorong pengembangan Paperless Office pada instansi pemerintah di Indonesia, dimulai dari keluarnya Instruksi Presiden RI Nomor 3 Tahun 2003 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan E-Government. Kemudian muncul Undang-Undang No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik[5] dan Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 6 Tahun 2011 tentang Pedoman Umum Tata Naskah Dinas Elektronik di Lingkungan Instansi Pemerintah [18].

IV. TANTANGAN PAPERLESS

Kami melakukan Systematic Literature Review (SLR) dari tantangan paperless yang ditentukan berdasarkan 21 jurnal internasional dan 15 jurnal nasional antara tahun 2014 sampai dengan tahun 2019. Kemudian dilakukan klasifikasi menjadi 4 (empat) dimensi yaitu regulasi, teknologi, manusia dan keamanan. Sebagai hasil dari SLR, 8 tantangan dikategorikan dalam dimensi regulasi (5 jurnal internasional, 3 jurnal nasional), 21 tantangan dalam dimensi teknologi (13 jurnal internasional, 8 jurnal nasional), 22 tantangan dalam dimensi manusia (10 jurnal internasional, 12 jurnal nasional) serta 8 tantangan pada dimensi keamanan (5 jurnal internasional dan 3 jurnal nasional). Dari gambar 1 bisa dilihat bahwa tantangan yang dihadapi internasional lebih banyak pada dimensi teknologi sedangkan nasional lebih banyak pada dimensi manusia.

Gambar 1 : Klasifikasi dimensi berdasarkan literatur



Berdasarkan literatur yang kami review, berikut adalah hasil ekstraksi yang didapatkan :

  • Digitalisasi dokumen memang mudah, tetapi sulit untuk menggunakan jumlah data besar ini yang didistribusikan dengan benar antar departemen[7]

  • Hampir semua lingkungan kerja terdiri dari berbagai jenis dokumen yang didalamnya terdapat campuran antara tulisan tangan dan tulisan cetak. Pendeteksian dokumen-dokumen tersebut sangat krusial bagi developer OCR dalam mendigitalisasi dokumen-dokumen tersebut secara akurat [19]

  • Proteksi privasi dan user anonymity dalam area secure payment system[20]

  • Berbagai percobaan telah dilakukan untuk mengotomasi proses pemasukan data ke dalam form tapi solusinya membutuhkan penggunaan perangkat keras yang berharga mahal[21].

  • Membutuhkan modal awal yang besar dalam peralatan dan software (fax, scanner, database, internet, intranet)[22]

  • Penganggaran biaya untuk pelatihan staf dan perubahan organisasi[22].

  • Penghalang dalam hal budaya organisasi dan pengguna misalnya kebiasaan buruk untuk mencetak semua hal[22].

  • Kekurangan dalam hal sumber daya seperti komputer, LAN yang tidak stabil, listrik yang sering padam , rendahnya kemampuan teknis penggunaan dan perawatan komputer serta koneksi internet yang buruk[14]

  • Penghalang dalam hal budaya kerja organisasi dan pengguna misalnya kebiasaan buruk untuk mencetak semua hal[21][23][24][25]

  • Kekurangan dalam hal sumber daya seperti komputer, LAN yang tidak stabil, listrik yang sering padam , rendahnya kemampuan teknis penggunaan dan perawatan komputer serta koneksi internet yang buruk[14][26]

  • Walaupun dari sisi infrastruktur TTD ini sudah tersedia cukup baik di Indonesia, bahkan Peraturan Pemerintah dan UU sudah melindungi, namun ada beberapa aspek legal yang belum tersedia antara lain: Sistem Legal Digital dan Identitas Digital Pengguna. Kedua hukum yang melindungi TTD tersebut sangat vital untuk mendukung penerapan TTD yang lebih luas[1].


Dimensi regulasi

Menurut Milsten dan Bates[27], komitmen pembiayaan untuk implementasi paperless, penyediaan dukungan layanan teknis, sistem pendukung keputusan serta kebijakan reformasi pembayaran menjadi faktor tantangan pada penerapan paperless dan diperlukan suatu langkah strategis organisasi dalam bentuk regulasi guna mengawal penerapan paperless dan mendukung dimensi - dimensi lainnya yang saling berkesinambungan. Regulasi pemerintah juga sangat berpengaruh pada suksesnya penerapan paperless pada lingkup nasional. menurut Sheng Li Hu[13] diperlukan sinergi regulasi lintas bidang untuk mendukung penerapan paperless pada domain tertentu. salah satu contohnya adalah regulasi pada bidang kesehatan perlu memfasilitasi penggunaan paperless dalam proses rekam medik. contoh yang lain adalah regulasi administrasi kependudukan yang perlu disesuaikan untuk memfasilitasi dokumen kependudukan dalam bentuk digital.

Dimensi Teknologi

Teknologi merupakan salah satu tantangan terbesar pada penerapan paperless. Menurut Philips [28], infrastruktur dan sumber daya teknologi informasi dan komunikasi menjadi tantangan yang cukup berat. Tantangan tersebut diantaranya adalah kualitas bandwidth internet maupun jaringan lokal yang kurang memadai, belum idealnya jumlah komputer dan sarana pendukung lainnya serta ketersediaan aplikasi yang sesuai dengan proses bisnis masing - masing organisasi yang berbeda.

Dimensi Manusia

Saat ini banyak sekolah yang beralih ke paperless classroom dimana guru dan murid menggunakan laptop, tablet sebagai pengganti buku dan bertukar informasi dan tugas di dalam dan luar kelas secara elektronik[29]. Tetapi berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Meishar-Tal dkk[30] mengungkapkan bahwa semakin banyak siswa berpengalaman dengan belajar dengan teknologi, semakin sedikit mereka lebih suka menggunakannya. Sementara guru di sekolah paperless mengembangkan dasar pemikiran yang kuat dengan mengandalkan gagasan untuk mengajar dan belajar di lingkungan paperless, dan menggunakan beragam teknologi dan mengembangkan pedagogi inovatif [29].

Dimensi Keamanan

Informasi nirkertas dapat diakses di mana saja di dunia tetapi menimbulkan masalah keamanan, karena sangat sulit untuk memberikan keamanan fisik untuk semua layar komputer[3]. Sistem paperless biasanya membutuhkan kata sandi. BarcodeRFID, dan teknologi lainnya dapat menghindari kebutuhan untuk mengetik (dan menghafal) kata sandi, tetapi ada kemungkinan hilang atau dibagi dan membuat data yang menyesatkan tentang siapa yang sebenarnya menggunakan sistem[3]. Informasi paperless juga dapat digandakan sehingga memungkinkan banyak orang untuk melihatnya, tetapi dapat menyebabkan masalah[3].



V. KESIMPULAN

Berdasarkan review dari 36 jurnal, kami menyimpulkan bahwa paperless diharapkan bisa mewujudkan kantor, sekolah, industri, sarana kesehatan yang ramah lingkungan. Tetapi pada kenyataannya, terjadi produktifitas yang berkebalikan, penggunaan kertas semakin tinggi. Dimensi teknologi dan manusia masih mendominasi tantangan penerapan paperless khususnya di Indonesia. Hal-hal yang berhubungan dengan infrastruktur, sarana dan prasarana serta kemampuan sumber daya manusia dalam penerapan paperless masih membutuhkan perhatian yang besar agar bisa diterapkan dengan optimal.


DAFTAR PUSTAKA

[1] A. Rahmah, “Digital Literacy Learning System for Indonesian Citizen,” Procedia Comput. Sci., vol. 72, pp. 94–101, 2015.

[2] G. Jifa, “Data, information, knowledge, wisdom and meta-synthesis of wisdom-comment on wisdom global and wisdom cities,” Procedia Comput. Sci., vol. 17, pp. 713–719, 2013.

[3] H. Thimbleby, “Three laws for paperlessness,” Digit. Heal., vol. 5, pp. 1–16, 2019.

[4] B. Plimmer and M. Apperley, “Making paperless work,” ACM Int. Conf. Proceeding Ser., vol. 254, pp. 1–8, 2007.

[5] “Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik,” 2008.

[6] R. H. R. H. Abigail J. Sellen, “The Myth of the Paperless Office (review),” portal Libr. Acad., vol. 3, no. 1, pp. 161–162, 2003.

[7] M. Isaeva and H. Y. Yoon, “Paperless university -How we can make it work?,” 2016 15th Int. Conf. Inf. Technol. Based High. Educ. Training, ITHET 2016, 2016.

[8] P. I. P. Deny Arthawan Sugih, E. Nugroho, and R. Hartanto, “Analysis on green IT applications usage for the firm’s competitive advantage strategy,” QiR 2017 - 2017 15th Int. Conf. Qual. Res. Int. Symp. Electr. Comput. Eng., vol. 2017-Decem, no. 1, pp. 29–33, 2017.

[9] J. M. Brusco, “Trending Toward Paperless,” AORN J., vol. 94, no. 1, pp. 13–18, 2011.

[10] H. Srimathi and A. Krishnamoorthy, “Paperless administration in Indian higher education,” Int. J. Eng. Adv. Technol., vol. 8, no. 4, pp. 760–764, 2019.

[11] M. Prensky, Digital Natives, Digital Immigrants. 2001.

[12] T. Grigoryan, “Investigating digital native female learners’ attitudes towards paperless language learning,” Res. Learn. Technol., vol. 26, no. 1063519, pp. 1–27, 2018.

[13] S. L. Hu and J. Q. Chi, “A study with Paperless Electronic Medical Advice,” MATEC Web Conf., vol. 63, pp. 1–4, 2016.

[14] B. Kanagwa, J. Ntacyo, and S. Orach, “Towards paperless hospitals: Lessons learned from 15 health facilities in Uganda,” Adv. Intell. Syst. Comput., vol. 445, pp. 23–32, 2016.

[15] L. Merkel, J. Atug, C. Berger, S. Braunreuther, and G. Reinhart, “Mass customization and paperless assembly in the learning factory for cyber-physical-production systems: Learning module ‘from paperbased to paperless assembly,’” Proc. - IEEE 18th Int. Conf. Adv. Learn. Technol. ICALT 2018, pp. 270–271, 2018.

[16] T. Schaller and S. Obermeier, “Shared business objects for paperless public management processes,” ACM Int. Conf. Proceeding Ser., vol. 07-08-Apri, 2016.

[17] F. Z. Abraham, P. I. Santosa, and W. W. Winarno, “Tandatangan Digital Sebagai Solusi Teknologi Informasi Dan Komunikasi (Tik) Hijau: Sebuah Kajian Literatur (Digital Signature As Green Information and Communication Technology (Ict) Solution: a Review Paper),” Masy. Telemat. Dan Inf. J. Penelit. Teknol. Inf. dan Komun., vol. 9, no. 2, p. 111, 2018.

[18] “Pedoman Umum Tata Naskah Dinas Elektronik di Lingkungan Instansi Pemerintah.” 2011.

[19] M. K. Ugale, S. J. Patil, and V. B. Musande, “Document management system: A notion towards paperless office,” Proc. - 1st Int. Conf. Intell. Syst. Inf. Manag. ICISIM 2017, vol. 2017-Janua, pp. 217–224, 2017.

[20] P. Veeraraghavan, S. Almuairfi, and N. Chilamkurti, “Anonymous paperless secure payment system using clouds,” J. Supercomput., vol. 72, no. 5, pp. 1813–1824, 2016.

[21] J. Shah, S. Gaonkar, and A. Shetty, “of mobile imaging Technology,” 2016.

[22] S. D. Orantes-Jimenez, A. Zavala-Galindo, and G. Vazquez-Alvarez, “Paperless Office: A new proposal for organizations,” IMSCI 2015 - 9th Int. Multi-Conference Soc. Cybern. Informatics, Proc., vol. 13, no. 3, pp. 70–75, 2015.

[23] M. Sulistiyono and F. Yasin, “Pemanfaatan Paperless Office System Dalam E-Goverment Studi Kasus Kementrian Pendidikan Dan Kebudayaan,” J. Teknol. Inf., vol. XI, no. 31, pp. 1–9, 2016.

[24] D. Ratnaningsih, “Persepsi Dan Personalitas Aplikasi Sistem Teknologi Informasi Nir-Kertas,” Modus, vol. 30, no. 2, pp. 158–180, 1875.

[25] Barnad, “PAPERLESS OFFICE SEBUAH KEBUTUHAN KANTOR MASA DEPAN DI INDONESIA,” vol. 15, pp. 9–20, 2019.

[26] R. E. Indrajit, Saide, R. Wahyuningsih, and L. Tinaria, “Implementation of paperless office in the classroom,” Advances in Intelligent Systems and Computing, vol. 745. pp. 508–517, 2018.

[27] J. Adler-Milstein and D. W. Bates, “Paperless healthcare: Progress and challenges of an IT-enabled healthcare system,” Bus. Horiz., vol. 53, no. 2, pp. 119–130, 2010.

[28] S. Taylor-Phillips et al., “Going ‘paperless’ in an English National Health Service (NHS) breast cancer screening service: The intriduction of fully digital mammography,” Health (Irvine. Calif)., vol. 06, no. 05, pp. 468–474, 2014.

[29] M. Shonfeld, H. M.- Tal, and C. Author, “THE VOICE OF TEACHERS IN A PAPERLESS CLASSROOM,” vol. 13, 2017.

[30] H. Meishar-Tal and M. Shonfeld, “Students’ writing and reading preferences in a paperless classroom,” Interact. Learn. Environ., vol. 27, no. 7, pp. 908–918, 2019.










Link Pemerintahan


Link Lainnya