KENALI DAN LIMITASI STUNTING SEKARANG JUGA


Diposting pada 23 November 2020, 07:53 Oleh PATRIAWATI NARENDRA, S. KM, M.K.M


Stunting adalah masalah gizi kronis yang disebabkan oleh asupan gizi yang kurang dalam waktu lama, umumnya karena asupan makan yang tidak sesuai kebutuhan gizi. Stunting terjadi mulai dari dalam kandungan dan baru terlihat saat anak berusia dua tahun.

        Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1995/MENKES/SK/XII/2010 tentang Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak, pengertian pendek dan sangat pendek adalah status gizi yang didasarkan pada indeks Panjang Badan menurut Umur (PB/U) atau Tinggi Badan menurut Umur (TB/U) yang merupakan padanan istilah stunted (pendek) dan severely stunted (sangat pendek). Balita pendek (stunting) dapat diketahui bila seorang balita sudah diukur panjang atau tinggi badannya, lalu dibandingkan dengan standar, dan hasilnya berada di bawah normal. Balita pendek adalah balita dengan status gizi yang berdasarkan panjang atau tinggi badan menurut umurnya bila dibandingkan dengan standar baku WHO-MGRS (Multicentre Growth Reference Study) tahun 2005, nilai z-scorenya kurang dari -2SD dan dikategorikan sangat pendek jika nilai z-scorenya kurang dari -3SD. Masalah balita pendek menggambarkan adanya masalah gizi kronis, dipengaruhi dari kondisi ibu/calon ibu, masa janin, dan masa bayi/balita, termasuk penyakit yang diderita selama masa balita. Seperti masalah gizi lainnya, tidak hanya terkait masalah kesehatan, namun juga dipengaruhi berbagai kondisi lain yang secara tidak langsung mempengaruhi kesehatan.

Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita akibat kekurangan gizi kronis, sehingga tinggi anak terlalu pendek untuk usianya. Kondisi kekurangan gizi ini terjadi sejak bayi dalam kandungan dan pada masa awal setelah lahir. Namun stunting baru terlihat setelah anak berusia dua tahun. Stunting berdampak pada tingkat kecerdasan, kerentanan terhadap penyakit, dan menurunkan produktivitas. Jumlah kasus stunting tertinggi umumnya berada di Indonesia bagian timur.

Stunting didefinisikan sebagai indeks tinggi badan menurut umur (TB/U) kurang dari minus dua standar deviasi (-2SD) atau dibawah rata-rata standar yang ada. Stunting pada anak merupakan hasil jangka panjang konsumsi kronis diet berkualitas rendah yang dikombinaikan dengan morbiditas, penyakit infeksi dan maslaah lingkungan.

Oleh karenanya upaya perbaikan yaitu melalui upaya untuk mencegah dan mengurangi gangguan secara langsung (intervensi gizi spesifik) dan upaya untuk mencegah dan mengurangi gangguan secara tidak langsung (intervensi gizi sensitif). Intervensi gizi spesifik umumnya dilakukan di sektor kesehatan, namun hanya berkontribusi 30%, sedangkan 70% nya merupakan kontribusi intervensi gizi sensitif yang melibatkan berbagai sektor seperti ketahanan pangan, ketersediaan air bersih dan sanitasi, penanggulangan kemiskinan, pendidikan, sosial, dan sebagainya. Upaya intervensi gizi spesifik untuk balita pendek difokuskan pada kelompok 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK), yaitu Ibu Hamil, Ibu Menyusui, dan Anak 0-23 bulan, karena penanggulangan balita pendek yang paling efektif dilakukan pada 1.000 HPK. Periode 1.000 HPK meliputi yang 270 hari selama kehamilan dan 730 hari pertama setelah bayi yang dilahirkan telah dibuktikan secara ilmiah

merupakan periode yang menentukan kualitas kehidupan. Oleh karena itu periode ini ada yang menyebutnya sebagai "periode emas", "periode kritis", dan Bank Dunia (2006) menyebutnya sebagai "window of opportunity". Dampak buruk yang dapat ditimbulkan oleh masalah gizi pada periode tersebut, dalam jangka pendek adalah terganggunya perkembangan otak, kecerdasan, gangguan pertumbuhan fisik, dan gangguan metabolisme dalam tubuh. Sedangkan dalam jangka panjang akibat buruk yang dapat ditimbulkan adalah menurunnya

kemampuan kognitif dan prestasi belajar, menurunnya kekebalan tubuh sehingga mudah sakit, dan risiko tinggi untuk munculnya penyakit diabetes, kegemukan, penyakit jantung dan pembuluh darah, kanker, stroke, dan disabilitas pada usia tua, serta kualitas kerja yang tidak kompetitif yang berakibat pada rendahnya produktivitas ekonomi.

Selain pertumbuhan terhambat, stunting juga dikaitkan dengan perkembangan otak yang tidak maksimal, yang menyebabkan kemampuan mental dan belajar yang kurang, serta prestasi sekolah yang buruk. Stunting mencerminkan kekurangan gizi kronis selama periode pertumbuhan dan perkembangan paling kritis di awal kehidupan. Ini didefinisikan sebagai persentase anak-anak, berusia 0 sampai 59 bulan, yang usianya di bawah minus dua standar deviasi (stunting sedang dan parah) dan minus tiga standar deviasi (stunting parah) dari median Standar Pertumbuhan Anak WHO.

  

MENGAPA STUNTING MENJADI PENTING?

Menurut laporan The Lancet’s pada tahun 2008, didunia ada 178 juta anak berusia kurang dari lima tahun (balita) yang stunting dengan luas mayoritas di South Central Asia dan sub-Sahara Afrika. Prevalensi balita stunting pada tahun 2007 di seluruh dunia 28,5% dan diseluruh negara berkembang sebesar 31,2%. Untuk  benua Asia prevalensi balita stunting sebesar 30,6%, kejadian ini jauh lebih tinggi dibanding dengan prevalensi balita stunting di Amrika Latin dan Karibia, yaitu sebesar 14,8%. Prevalensi balita stunting di Asia Tenggara adalah 29,4%, lebih tinggi dibanding dengan Asia Timur (14,4%) dan Asia Barat (20,9%). Di Indonesia, trend kejadian stunting pada balita tidak memperlihatkan perubahan yang bermakna. Data Riskesdas menunjukkan tahun 2010 sebesar 35,6%. Bila dibandingkan dengan batas “non public health problem” menurut WHO untuk masalah kepedekan sebesar 20%, maka semua provinsi di Indonesia masih dalam kondisi bermasalah kesehatan masyarakat. Prevalensi stunting di Jawa Barat tahun 2007 adalah sebesar 35,4% (balita pendek 19,7% dan sangat pendek 15,7%) lalu pada tahun 2010 menunjukkan perubahan menjadi 33,7% (balita gizi pendek 17,1%) dan sangat pendek 16,6%. Prevalensi stunting di Kota Depok termasuk dalam masalah kesehatan masyarakat karena lebih dari 20% yaitu 29%.

Hampir 70% pembentukan sel otak terjadi sejak janin masih dalam kandungan sampai anak usia 2 tahun.Dilihat dari tingkat keparahannya pada anak usia 3 tahun stunting severe, jika otaknya mengalami hambatan pertumbuhan, jumlah sel otak, serabut sel otak dan penghubung sel otak nya berkurang maka akibatnya pada anak laki-laki memiliki kemampuan membaca lebih rendah 15 point dan perempuan 11 poin dibandingkan dengan yang normal. Hal ini mengakibatkan penurunan intelegensia (IQ), prestasi belajar menjadi rendah ? tidak dapat melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi?SDM rendah. Sehingga peluang kerja kecil ? akibatnya penghasilan rendah dan kebutuhan pangan tidak tercukupi.
Dengan demikian menanggulangi stunting pada anak berarti meningkatkan sumber daya manusia. Sumber daya yang baik akan menciptakan generasi yang baik pula. Disamping itu, dari aspek estetikanya seseorang yang memiliki tubuh proporsional akan kelihatan lebih menarik dibandingkan memiliki tubuh yang pendek.

 

PENYEBAB STUNTING DI INDONESIA

1.  Praktek pengasuhan yang kurang baik, termasuk kurangnya pengetahuan ibu mengenai kesehatan dan gizi sebelum dan pada masa kehamilan, serta setelah ibu melahirkan.Beberapa fakta dan informasi yang ada menunjukkan bahwa 60% dari anak usia 0-6 bulan tidak mendapatkan Air Susu Ibu (ASI) secara ekslusif, dan 2 dari 3 anak usia 0-24 bulan tidak menerima Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI). MP-ASI diberikan/mulai diperkenalkan ketika balita berusia diatas 6 bulan. Selain berfungsi untuk mengenalkan jenis makanan baru pada bayi, MPASI juga dapat mencukupi kebutuhan nutrisi tubuh bayi yang tidak lagi dapat disokong oleh ASI, serta membentuk daya tahan tubuh dan perkembangan sistem imunologis anak terhadap makanan maupun minuman.

2.  Masih terbatasnya layanan kesehatan termasuk layanan ANC-Ante Natal Care (pelayanan kesehatan untuk ibu selama masa kehamilan) Post Natal Care dan pembelajaran dini yang berkualitas. Informasi yang dikumpulkan dari publikasi Kemenkes dan Bank Dunia menyatakan bahwa tingkat kehadiran anak di Posyandu semakin menurun dari 79% di 2007 menjadi 64% di 2013 dan anak belum mendapat akses yang memadai ke layanan imunisasi. Fakta lain adalah 2 dari 3 ibu hamil belum mengkonsumsi sumplemen zat besi yang memadai serta masih terbatasnya akses ke layanan pembelajaran dini yang berkualitas (baru 1 dari 3 anak usia 3-6 tahun belum terdaftar di layanan PAUD/Pendidikan Anak Usia Dini).

3.  Masih kurangnya akses rumah tangga/keluarga ke makanan bergizi. Hal ini dikarenakan harga makanan bergizi di Indonesia masih tergolong mahal.Menurut beberapa sumber (RISKESDAS 2013, SDKI 2012, SUSENAS), komoditas makanan di Jakarta 94% lebih mahal dibanding dengan di New Delhi, India. Harga buah dan sayuran di Indonesia lebih mahal daripada di Singapura. Terbatasnya akses ke makanan bergizi di Indonesia juga dicatat telah berkontribusi pada 1 dari 3 ibu hamil yang mengalami anemia.

4.  Kurangnya akses ke air bersih dan sanitasi. Data yang diperoleh di lapangan menunjukkan bahwa 1 dari 5 rumah tangga di Indonesia masih buang air besar (BAB) diruang terbuka, serta 1 dari 3 rumah tangga belum memiliki akses ke air minum bersih.

 

Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap terhambatnya pertumbuhan dan perkembangan meliputi kesehatan gizi ibu yang buruk, asupan makanan si Kecil yang tidak memadai, dan infeksi. Secara khusus, hal ini meliputi status gizi dan kesehatan Ibu sebelum, selama dan setelah kehamilan yang ikut  berpengaruh pada pertumbuhan dan perkembangan awal anak. Faktor lain dari sisi Ibu yang dapat menyebabkan stunting meliputi perawakan anak yang pendek, jarak kelahiran terlalu dekat, dan kehamilan remaja, yang mengganggu asupan nutrisi ke janin. Hal ini dikarenakan adanya kebutuhan nutisi untuk pertumbuhan ibu yang masih remaja. Faktor lainnya dari segi nutrisi meliputi asupan makanan untuk si Kecil yang tidak memadai, termasuk pemberian ASI yang belum optimal (non-eksklusif ASI) dan makanan pendamping ASI yang terbatas dalam kuantitas, kualitas dan variasinya.

Masalah gizi buruk kronis (stunting) yang dihadapi masyarakat Indonesia masih parah. Pemerintah akan melakukan pemantauan gizi pada daerah-daerah dengan jumlah stunting tinggi. "Kami memetakan kembali mana daerah yang sudah baik, belum baik, dan mana yang butuh perhatian khusus," kata Menteri Koordinator Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani seusai rapat Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan tentang stunting di Kantor Wakil Presiden, Jalan Medan Merdeka Utara, Rabu, 12 Juli 2017.

Menteri Kesehatan Nila Moeloek mengatakan ada 37,2 persen atau sekitar 9 juta anak di Indonesia mengalami stunting. Dalam tiga tahun terakhir. Namun dalam survei terakhir, kata Nina, jumlah stunting mengalami penurunan menjadi 27,5 persen. "Tapi dengan pemantauan status gizi," kata Nila. Nila mengatakan penanganan stunting dilakukan tidak hanya dengan memberikan makanan tambahan. Tapi juga dilakukan dengan faktor eksternal, misalnya perbaikan sanitasi, dan fasilitas air bersih. "Kalau tidak ada air bersih, dia juga tidak pernah cuci tangan, ya, cacing jadi ikut masuklah. Kemudian ibu anemia, atau ibu hamil kurang darah," kata Nila. Menurut Nila, ibu hamil yang kurang gizi akan menyebabkan anak lahir dengan berat badan rendah. Padahal seribu hari pertama kehidupan sangat penting bagi perkembangan anak selanjutnya.

Stunting merupakan refleksi jangka panjang dari kualitas dan kuantitas makanan yang tidak memadai dan sering menderita infeksi selama masa kanak-kanak. Anak yang stunting merupakan hasil dari masalah gizi kronis sebagai akibat dari makanan yang tidak berkualitas, ditambah dengan morbiditas, penyakit infeksi, dan masalah lingkungan. Stunting masa kanak-kanak berhubungan dengan keterlambatan perkembangan motorik dan tingkat kecerdasan yang lebih rendah. Selain itu, juga dapat menyebabkan depresi fungsi imun, perubahan metabolik, penurunan perkembangan motorik, rendahnya nilai kognitif dan rendahnya nilai akademik. Anak yang menderita stunting akan tumbuh menjadi dewasa yang berisiko obesitas, glucose tolerance, penyakit jantung koroner, hipertensi, osteoporosis.

 

STUNTING PADA BALITA

Anak balita dengan stunting, selain mengalami gangguan pertumbuhan, umumnya memiliki kecerdasan yang lebih rendah dari anak balita normal. Selain itu, anak balita stunting lebih mudah menderita penyakit tidak menular ketika dewasa. Stunting adalah masalah gizi yang cukup signifikan terkait dengan pertumuhan dan perkembangan si Kecil. Masalah ini mempengaruhi sekitar 162 juta balita di seluruh dunia, dan 8 juta balita di Indonesia (Riskedas 2013). Terdapat satu dari empat orang anak balita mengalami stunting.

Keadaan stunting atau balita bertubuh pendek merupakan indikator masalah gizi dari keadaan yang berlangsung lama. Seperti masalah kemiskinan, perilaku hidup tidak sehat, pola asuh, dan pemberian asupan makanan yang kurang baik dari sejak si Kecil lahir. Akibatnya, si Kecil tidak tumbuh sesuai dengan indikator tinggi badan yang ideal sesuai usianya. Balita stunting, selain mengalami gangguan pertumbuhan, umumnya memiliki kecerdasan yang lebih rendah dari anak balita normal. Selain itu, anak balita stunting lebih mudah menderita penyakit tidak menular ketika dewasa dan memiliki produktifitas kerja yang lebih rendah. Dengan menanggulangi stunting pada si Kecil sejak dini, Ibu turut meningkatkan kualitas hidupnya di masa depan.

Angka stunting akibat kekurangan gizi di Indonesia masih sangat tinggi. Berdasarkan indeks Tinggi Badan per Umur (TB/U), menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 angkanya mencapai 37,2 persen atau sekitar 8,8 juta balita Indonesia mengalami stunting. Stunting pada anak balita merupakan konsekuensi dari beberapa faktor yang sering dikaitkan dengan kemiskinan termasuk gizi, kesehatan, sanitasi dan lingkungan. Ada lima faktor utama penyebab stunting yaitu kemiskinan, sosial dan budaya, peningkatan paparan terhadap penyakit infeksi, kerawanan pangan dan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan. Faktor yang berhubungan dengan status gizi kronis pada anak balita tidak sama antara wilayah perkotaan dan pedesaan, sehingga upaya penanggulangannya harus disesuaikan dengan faktor yang mempengaruhi. Stunting adalah masalah gizi utama yang akan berdampak pada kehidupan sosial dan ekonomi dalam masyarakat. Selain itu,  stunting dapat berpengaruh pada anak balita pada jangka panjang yaitu mengganggu.

Mereka yang mengalami kekurangan gizi pada Seribu Hari Pertama Kehidupan, mempunyai tiga resiko, yaitu resiko terjadinya penyakit tidak menular/ kronis, tergantung organ yang terkena. Bila ginjal, maka akan menderita hipertensi dan gangguan ginjal, bila pankreas maka akan beresiko penyakit diabetes tipe 2, bila jantung akan beresiko menderita penyakit jantung, dan seterusnya; bila otak yang terkena maka akan mengalami hambatan pertumbuhan kognitif, sehingga kurang cerdas dan kompetitif; dan resiko gangguan pertumbuhan tinggi badan, sehingga beresiko pendek/stunting, riwayat BBLR, pelayanan kesehatan dan imunisasi, pengetahuan ibu, pola asuh ibu, tinggi badan ayah, tinggi badan ibu, pendidikan ayah, pendidikan ibu, pendapatan keluarga, ketersediaan pangan dan sanitasi lingkungan.

 

STUNTING PADA ANAK

Anak yang stunted, pada usia 8-10 tahun lebih terkekang/tertekan (lebih pendiam, tidak banyak melakukan eye-contact) dibandingkan dengan anak non stunted jika ditempatkan dalam situasi penuh tekanan. Anak dengan kekurangan protein dan energi kronis (stunting) menampilkan performa yang buruk pada tes perhatian dan memori belajar, tetapi masih baik  dalam koordinasi dan kecepatan gerak. Pertumbuhan melambat, batas bawah kecepatan tumbuh adalah 5cm/tahun decimal.  Tanda tanda pubertas terlambat (payudara, menarche, rambut pubis, rambut ketiak, panjangnya testis dan volume testis, Wajah tampak lebih muda dari umurnya,  Pertumbuhan gigi yang terlambat. Kurang gizi merupakan salah satu masalah paling serius di dunia, tetapi paling sedikit mendapatkan perhatian. Padahal biaya kemanusiaan dan ekonomi untuk kurang gizi sangat besar, karena kurang gizi terutama menimpa kelompok masyarakat kurang mampu, perempuan dan anak-anak.

 

Gambar 1. Balita Kekurangan Gizi

 

PENGARUH STUNTING PADA ANAK

              Anak-anak yang mengalami stunted lebih awal yaitu sebelum usia enam bulan, akan mengalami stunted lebih berat menjelang usia dua tahun. Stunted  yang parah pada anak-anak akan terjadi deficit  jangka panjang dalam perkembangan fisik dan mental sehingga tidak   mampu untuk belajar secara  optimal di  sekolah, dibandingkan anak- anak dengan tinggi badan normal. Anak-anak dengan stunted cenderung lebih lama masuk sekolah dan lebih sering absen dari sekolah dibandingkan anak-anak dengan status gizibaik. Hal ini memberikan  konsekuensi terhadap kesuksesan anak dalam  kehidupannya dimasa yang akan datang.

               Stunted akan sangat mempengaruhi kesehatan dan perkembangan anak. Faktor dasar yang menyebabkan stunted dapat mengganggu pertumbuhan  dan perkembangan intelektual. Penyebab dari stunted adalah bayi berat lahir rendah, ASI yang tidak memadai, makanan  tambahan yang tidak sesuai, diare berulang, dan infeksi pernapasan. Berdasarkan penelitian sebagian besar anak-anak dengan stunted mengkonsumsi makanan yang berada di bawah ketentuan  rekomendasi kadar gizi, berasal dari keluarga miskin dengan jumlah keluarga banyak, bertempat tinggal di wilayah pinggiran kota dan komunitas pedesaan.

      Pengaruh gizi pada anak usia dini yang mengalami stunted dapat mengganggu pertumbuhan dan perkembangan kognitif yang  kurang. Anak stunted pada usia lima tahun cenderung menetap sepanjang hidup, kegagalan pertumbuhan anak usia dini berlanjut pada masa remaja dan kemudian tumbuh menjadi  wanita dewasa yang stunted dan mempengaruhi secara langsung pada kesehatan dan produktivitas, sehingga meningkatkan peluang melahirkan anak dengan BBLR. Stunted terutama berbahaya pada perempuan, karena lebih cenderung menghambat dalam proses pertumbuhan dan berisiko lebih besar meninggal saat melahirkan. Menurut WHO, apabila masalah stunting di atas 20% maka merupakan masalah kesehatan masyarakat.  Kesehatan, pendidikan serta produktifitasnya di kemudian hari. Anak balita stunting cenderung akan sulit mencapai potensi pertumbuhan dan perkembangan yang optimal baik secara fisik maupun psikomotorik. Terdapat beberapa zat gizi yang berkaitan dengan stunting seperti protein, zat besi, zink, kalsium, dan vitamin D, A dan C.8 Selain itu, faktor hormon, genetik dan rendahnya pengetahuan orangtua dalam pengasuhan, kemiskinan, rendahnya sanitasi lingkungan, rendahnya aksesibilitas pangan pada tingkat keluarga terutama pada keluarga miskin, rendahnya akses keluarga terhadap pelayanan kesehatan dasar, dan masih terjadi disparitas antar provinsi yang perlu mendapat penanganan masalah yang sifatnya spesifik di wilayah rawan. Stunting merupakan indikator yang sensitif untuk sosial ekonomi yang buruk dan prediktor untuk morbiditas serta mortilitas jangka panjang. Stunting pada anak usia dini itu bersifat reversible.

 

FAKTOR RESIKO STUNTING

1.      PENYAKIT INFEKSI

Penyebab langsung malnutrisi adalah diet yang tidak adekuat dan penyakit. Manifestasi malnutrisi ini disebabkan oleh perbedaan antar jumlah zat gizi yang diserap dari makanan dan jumlah zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh. Kenyataannya, malnutrisi dan infeksi sering terjadi pada saat bersamaan. Malnutrisi dapat meningkatkan resiko infeksi, sedangkan infeksi dapat menyebabkan malnutrisi yang mengarahkan ke lingkaran setan. Faktor penyakit infeksi menunjukkan nilai yang paling besar sebagai faktor risiko penyebab kejadian stunting pada batita (bawah tiga tahun). Sejalan dengan kerangka konsep UNICEF 1990 salah satu faktor penyebab langsung terjadinya masalah gizi adalah penyakit infeksi. Penyakit infeksi adalah suatu kondisi pada saat batita diukur mengalami gangguan karena terjadinya infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), diare, atau campak selama penelitian dengan didasarkan pada diagnosis dokter.

 

2.      BBLR (BERAT BADAN LAHIR RENDAH)

BBLR merupakan faktor resiko stunting, disebut BBLR apabila memiliki riwayat berat badan lahir rendah memiliki riwayat panjang badan lahir rendah kurang dari 48 sentimeter, bayi dengan berat lahir rendah (BBLR) didefinisikan WHO yaitu berat lahir yang kurang dari 2500 gr. Di negara berkembang, bayi dengan berat lahir rendah (BBLR) lebih cenderung mengalami retardasi pertumbuhan intrauteri yang terjadi karena buruknya gizi ibu dan meningkatnya angka infeksi dibandingkan dengan negara maju. Dampak dari bayi yang memiliki berat lahir rendah akan berlangsung antar generasi yang satu ke generasi selanjutnya. Anak yang BBLR kedepannya akan memiliki ukuran antropometri yang di masa dewasa. Bagi Perempuan yang lahir dengn berat rendah, memiliki resiko besar untuk menjadi ibu yang stunted sehingga akan cenderung melahirkan bayi dengan berat lahir rendah seperti dirinya. Bayi yang dilahirkan oleh ibu yang stunted tersebut akan menjadi perempuan dewasa yang stunted juga dan akan membentuk siklus sama seperti sebelumnya.


Gambar 2. Gangguan Pertumbuhan Antar-Generasi

 

3.      PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF YANG TIDAK PARIPURNA

Bayi yang tidak diberikan ASI Eksklusif akan cenderung menjadi anak stunting. Asi eksklusif adalah memberikan hanya ASI saja bagi bayi sejak lahir sampai usia 6 bulan. Pemberian ASI memiliki berbagai manfaat terhadap kesehatan, terutama dalam hal perkembangan anak. Komposisi ASI banyak mengandung asam lemak tak jenuh dengan rantai karbon panjang (LCPUFA, Long-Chain Polyunsaturated Fatty Acid) yang tidak hanya sebagai sumber energi tetapi juga penting untuk perkembangan otak karena molekul yang dominan ditemukan dalam selubung myelin. ASI juga memiliki manfaat lain, yaitu meningkatkan imunitas anak terhadap penyakit. Secara tidak langsung, ASI juga memberikan efek terhadap perkembangan psikomotor anak, karena anak yang sakit akan sulit untuk mengeksplorasi dan belajar dari sekitarnya. Resiko Stunting 3,7 kali lebih tinggi pada balita yang tidak diberi ASI Eksklusif (ASI<6 bulan) dibandingkan dengan balita yang diberi ASI Eksklusif, anak yang tidak mendapatkan kolostrum lebih beresiko tinggi terhadap stunting. Hal ini mungkin disebabkan karena kolostrum memberikan efek perlindungan pada bayi baru lahir dan bayi yang tidak menerima kolostrum mungkin memiliki insiden, durasi dan keparahan penyakit yang lebih tinggi seperti diare yang berkontribusi terhadap kekurangan gizi.

4.      STATUS PEMBERIAN IMUNISASI YANG TIDAK LENGKAP

Pemberian imunisasi pada anak memiliki tujuan penting yaitu untuk mengurangi resiko morbiditas (kesakitan) dan mortalitas (kematian) anak akibat penyakit-penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi, seperti TBC, Difteri, Tetanus, Pertusis, Polio, Campak, Hepatitis B.  Status imunisasi pada anak adalah salah satu indikator kontak dengan pelayanan kesehatan. Karena diharapkan bahwa kontak dengan pelayanan kesehatan akan membantu memperbaiki masalah gizi dan status imunisasi juga diharapkan akan memberikan efek positif terhadap status gizi jangka panjang, sehingga status pemberian imunisasi yang tidak lengkap merupakan faktor resiko terjadinya stunting.

 

5.      RENDAHNYA PENDIDIKAN ORANG TUA

Semakin rendah pendidikan orang akan semakin membesar resiko kejadian stunting, dikarenakan rendahnya pendidikan orang tua akan berpengaruh terhadap pengasuhan anak. Rendahnya pendidikan ibu akan menjadi faktor resiko kejadian stunting pada anak. Semakin rendah pendidikan ibu akan semakin memperbesar faktor resiko stunting, dikarenakan tingkat pengetahuan yang rendah akan mempengaruhi cara pengasuhan balita dan anak termasuk dengan pemberian asupan gizi pada anak. Rendahnya pendidikan ibu merupakan penyebab utama dari kejadian stunting pada anak sekolah dan remaja di Nigeria. Ibu yang berpendidikan lebih mungkin untuk membuat keputusan yang akan meningkatkan gizi dan kesehatan anak-anaknya. Selain itu Ibu yang berpendidikan cenderung menyekolahkan semua anaknya sehingga memutus mata rantai kebodohan serta akan lebih baik menggunakan strategi demi kelangsungan hidup anaknya, seperti ASI yang memadai, imunisasi, terapi rehidrasi oral dan Keluarga Berencana. Maka dari itu, mendidik wanita akan menjadi langkah yang berguna dalam pengurangan prevalensi malnutrition, terutama stunting. 

6.      BURUKNYA SANITASI LINGKUNGAN

Faktor lingkungan yang berisiko terhadap kejadian stunting pada batita adalah sanitasi lingkungan, bahwa anak-anak yang berasal dari keluarga yang mempunyai fasilitas air bersih memiliki prevalensi diare dan stunting lebih rendah daripada anak-anak dari keluarga yang tanpa fasilitas air bersih dan kepemilikan jamban, risiko batita stunting yang tinggal dengan sanitasi lingkungan yang kurang baik lebih tinggi dibanding dengan sanitasi yang baik. Hal ini terjadi karena sebagian besar tempat tinggal batita belum memenuhi syarat rumah sehat, ventilasi dan pencahayaan kurang. Penggunaan sarana pembuangan limbah dan air minum yang tidak sesuai standar kesehatan juga menjadi faktor resiko terjadinya stunting pada balita dan anak.

7.      STATUS EKONOMI KELUARGA

Penghasilan merupakan faktor penting dalam penentuan kualitas dan kuantitas makanan dalam suatu keluarga. Di negara berkembang biasanya masyarakat yang berpenghasilan rendah , membelanjakan sebagian besar dari pendapatannya untuk membeli makanan. Tingkat penghasilan juga menentukan jenis pangan yang akan dikonsumsi. Biasanya di negara yang berpendapatan rendah mayoritas pengeluaran pangannya untuk membeli serelia, sedangkan di negara yang memiliki pendapatan per-kapita tinggi, pengeluaran bahan pangan protein akan meningkat. Faktor ekonomi dan lingkungan lebih berpengaruh terhadap pertumbuhan anak dari pada faktor genetik dan etnik. Status ekonomi  rumah tangga dipandang memiliki dampak yang signifikan terhadap probabilitas seorang anak menjadi pendek dan kurus. Dalam hal ini WHO merekomendasikan status gizi pendek atau stunting sebagai alat ukur atas tingkat sosial ekonomi yang rendah dan sebagai salah satu indikator untuk memantau ekuitas dalam kesehatan.

8.      PEKERJAAN ORANG TUA

Pekerjaan merupakan Faktor penting dalam menentukan kualitas dan kuantitas pangan, karena pekerjan berhubungan dengan pendapatan. Semakin rendahnya pendapatan maka akan semakin memperbesar resiko kejadian stunting. Dengan demikian, terdapat asosiasi antara pendapatan dengan gizi, apabila pendapatan meningkat maka bukan tidak mungkin kesehatan dan masalah keluarga yang berkaitan dengan gizi mengalami perbaikan. Hasil penelitian mengemukakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara pola asuh makan dengan pekerjaan Ibu. Ibu yang bekerja di luar rumah dapat menyebabkan anak tidak terawat, sebab anak balita sangat bergantung pada pengasuhnya atau anggota keluarga yang lain. Selain itu Ibu yang bekerja diluar rumah cenderung memiliki waktu yang terbatas untuk melaksanakan tugas rumah tangga dibandingkan dengan ibu yang tidak bekerja, oleh karena itu pola pengasuhan anak akan berpengaruh dan pada akhirnya pertumbuhan anak akan berpengaruh pada akhirnya pertumbuhan dan perkembangan anak juga akan terganggu.

 

9.      KETERSEDIAAN PANGAN

Kemampuan untuk menyediakan pangan juga dapat membesar resiko terjadinya stunting. Semakin sedikit kemampuan dalam menyediakan ketersediaan pangan akan memperbesar resiko kejadian stunting pada anak. Keluarga yang mampu menyediakan pangan secara variatif akan memperoleh gizi yang cukup, tetapi sebaliknya keluarga yang tidak mampu menyediakan pangan untuk keluarga maka akan memperbesar resiko kejadian stunting.


    10.  KEKURANGAN ZINK

Anak balita stunting cenderung akan sulit mencapai potensi pertumbuhan dan perkembangan yang optimal baik secara fisik maupun psikomotorik. Zink merupakan salah satu zat gizi yang dibutuhkan dalam jumlah sedikit tetapi kebutuhannya sangat esensial bagi kehidupan. Hal tersebut yang dapat mempengaruhi proses pertumbuhan pada sebagain besar anak balita, mengingat zink sangat erat kaitannya dengan metabolisme tulang sehingga zink berperan secara positif pada pertumbuhan dan perkembangan. Anak membutuhkan zink lebih banyak untuk pertumbuhan dan perkembangan secara normal, melawan infeksi dan penyembuhan luka. Zink berperan dalam produksi hormon pertumbuhan. Zink dibutuhkan untuk mengaktifkan dan memulai sintesis hormon pertumbuhan/GH. Pada defisiensi zink akan terjadi gangguan pada reseptor GH dan produksi GH yang resisten.

Zinc merupakan zat gizi yang esensial dan telah mendapat perhatian yang cukup besar akhir akhir ini. Kehadiran zinc dalam tubuh akan sangat mempengaruhi fungsi kekebalan tubuh, sehingga berperan penting dalam pencegahan infeksi oleh berbagai jenis bakteri patogen. Berdasarkan peneltian yang sudah ada, kekurangan zinc pada saat anak-anak dapat menyebabkan stunting (pendek) dan terlambatnya kematangan fungsi seksual. Akibat lain dari kekurangan zinc adalah meningkatkan resiko diare dan infeksi saluran nafas. Kejadian stunting pada anak merupakan suatu proses kumulatif yang terjadi sejak kehamilan, masa kanak-kanak dan sepanjang siklus kehidupan. Pada masa ini merupakan proses terjadinya stunting pada anak dan peluang peningkatan stunting terjadi dalam 2 tahun pertama kehidupan.Faktor gizi ibu sebelum dan selama kehamilan merupakan penyebab tidaklangsung yang memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan dan perkembangan janin.        

 

Stunting merupakan masalah gizi yang sifatnya kronis sebagai akibat asupan gizi yang kurang dan berlangsung dalam keadaan yang lama , misalnya kemiskinan, perilaku hidup tidak sehat, pola asuh/pemberian makan yang kurang baik dari sejak anak dilahirkan akibat orang tua/keluarga tidak tahu untuk memberkan makanan apa yang sesuai dengan kebutuhan gizi anaknya. Anak stunting tidak disebabkan oleh keturunan, tetapi lebih banyak disebabkan oleh rendahnya asupan gizi dan penyakit berulang yang didasari oleh sanitasi lingkungan yang tidak sehat. Karena sanitasi yang tidak sehat akan memicu anak untuk terinfeksi penyakit. Sehingga anak yang sering sakit akan terganggu tumbuh kembangnya.
Untuk status gizi orangtua, ternyata status gizi ibu sangat berkaitan dengan kejadian balita stunting. Apabila Ibu pendek-ayah normal maka prevalensi balita pendek pasti tinggi. Tetapi apabila ibu normal-meskipun ayah pendek, maka prevalensi balita pendek akan rendah dibandingkan ibu yang pendek. Artinya status gizi ibu hamil sangat menentukan akan melahirkan balita pendek. Hal ini dikarena ibu hamil yang mengkonsumsi energi dan protein di bawah kebutuhan minimal (asupan gizi kurang) akan berdampak pada terhambatnya pertumbuhan janin yang dikandungnya. Apabila janin dalam kandungan mendapatkan gizi yang cukup, maka ketika lahir berat dan panjang badannya akan normal. Anak stunting selain mengalami gangguan pertumbuhan, umumnya memiliki kecerdasan yang lebih rendah dari anak normal. Stunting (pendek) merupakan salah satu bentuk gizi kurang yang ditandai dengan indikator tinggi badan menurut umur.  Kekurangan gizi masa anakanak selalu dihubungkan dengan kekurangan vitamin mineral yang spesifik dan berhubungan dengan mikronutrien tertentu. Beberapa tahun terakhir ini telah banyak penelitian mengenai dampak dari kekurangan mikronutrien, dimulai dari meningkatnya resiko terhadap penyakit infeksi dan kematian yang dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan mental. Konsekuensi defisiensi mikronutrien selama masa anak-anak sangat berbahaya.

              Kekurangan protein murni pada stadium berat menyebabkan kwashiorkor pada anak-anak di bawah lima tahun. Kekurangan protein juga sering ditemukan secara bersamaan dengan kekurangan energi yang menyebabkan kondisi yang dinamakan marasmus. Protein sendiri mempunyai banyak fungsi, diantaranya membentuk jaringan tubuh baru dalam masa pertumbuhan dan perkembangan tubuh, memelihara jaringan tubuh, memperbaiki serta mengganti jaringan yang aus, rusak atau mati, menyediakan asam amino yang diperlukan untuk membentuk enzim pencernaan dan metabolisme, dll.

 

   Ibu hamil dengan gizi kurang akan menyebabkan janin mengalami intrauterine growth retardation (IUGR), sehingga bayi akan lahir dengan kurang gizi, dan mengalami gangguan pertumbuhan dan perkembangan. Ibu memegang peranan penting dalam mendukung upaya mengatasi masalah gizi, terutama dalam hal asupan gizi keluarga, mulai dari penyiapan makanan, pemilihan bahan makanan, sampai menu makanan. Ibu yang memiliki status gizi baik akan melahirkan anak yang bergizi baik. Kemampuan keluarga dalam memenuhi kebutuhan pangan baik dalam jumlah maupun mutu gizinya sangat berpengaruh bagi status gizi anak. Keluarga dengan penghasilan relatif tetap, prevalensi berat kurang dan prevalensi kependekan lebih rendah dibandingkan dengan keluarga yang berpenghasilan tidak tetap. Anak-anak yang mengalami hambatan dalam pertumbuhan disebabkan kurangnya asupan makanan yang memadai dan penyakit infeksi yang berulang, dan meningkatnya kebutuhan metabolic serta mengurangi nafsu makan, sehingga meningkatnya kekurangan gizi pada anak. Keadaan ini semakin mempersulit untuk mengatasi gangguan pertumbuhan yang akhirnya berpeluang terjadinya stunting. Stunting menggambarkan kejadian kurang gizi pada balita yang berlangsung dalam waktu yang lama, yang berpengaruh pada fisik dan juga pada fungsi kognitif pada anak. Pendek dan sangat pendek adalah status gizi yang didasarkan pada indeks PB/U atau TB/U yang sekarang dikenal dengan stunted atau severely stunted.

 

Gambar 3. Model Pengendalian Faktor Risiko Stunting pada Batita


KESIMPULAN DAN SARAN

 

Cara Penanggulangan Stunting

Ibu dapat melakukan tindakan yang memiliki dampak langsung pada pencegahan dan penanggulangan stunting dengan mengatasi penyebab-penyebab yang sudah dibahas di atas. Penanggulangan stunting yang paling efektif dilakukan meliputi:

1. Pada ibu hamil

  • Memperbaiki gizi dan kesehatan Ibu hamil merupakan cara terbaik dalam mengatasi stunting. Ibu  hamil perlu mendapat makanan yang bergizi dalam jumlah yang cukup. Apabila Ibu mendapati berat badan yang berada di bawah normal atau kondisi Kurang Energi Kronis (KEK), maka Ibu perlu diberikan asupan makanan tambahan/
  • Setiap ibu hamil perlu mendapat tablet tambah darah, minimal 90 tablet selama masa kehamilan.
  • Kesehatan ibu harus tetap dijaga agar ibu tidak mengalami sakit.

2. Pada saat bayi lahir

  • Persalinan ditolong oleh bidan atau dokter terlatih dan begitu bayi lahir dilakukan Inisiasi Menyusu Dini
  • Bayi sampai dengan usia 6 bulan eksklusif diberi Air Susu Ibu (ASI) saja.

3. Bayi berusia 6 bulan sampai dengan 2 tahun

  • Mulai usia 6 bulan, selain ASI, bayi diberi Makanan Pendamping ASI (MP-ASI). Pemberian ASI terus dilakukan sampai bayi berumur 2 tahun atau lebih.
  • Bayi dan anak memperoleh kapsul vitamin A, dan imunisasi dasar yang lengkap.

4. Perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) harus diupayakan oleh setiap rumah tangga.

Stunting atau kondisi balita pendek dapat dicegah dengan langkah-langkah yang dilakukan sejak dini. Pencegahan dapat dilakukan semenjak si Kecil masih dalam kandungan dan pada saat 1000 hari petama kehidupannya. Pemberian asupan nutrisi yang tepat dan seimbang dapat menghindarkan si Kecil dari masalah stunting. Untuk Bayi baru lahir hanya mendapatkan Asi saja hingga usia 6 bulan (ekslusif), setelah 6 bulan diberi MP-ASI. Sampai bayi berumur 2 tahun. MP-ASI yang padat gizi diberikan bersama dengan ASI dapat memenuhi kebutuhan gizi bayi dan balita. Bagi Ibu nifas di samping mendapat makanan bergizi juga harus diberi suplement zat gizi (kapsul vitamin A).

Untuk calon ibu, ibu hamil dan ibu menyusui terapkan pola hidup bergizi dan seimbang yaitu empat pilar gizi.

Empat pilar gizi seimbang dalam Tumpeng Gizi Seimbang yaitu

  1. makan makanan beragam (dalam jumlah yang cukup dan proposional),
  2. menerapkan pola hidup bersih
  3. melakukan aktivitas fisik
  4. memantau  berat badan ideal.

Saran yang dapat diberikan adalah:

1) Dinas Kesehatan perlu melakukan pengumpulan data terkait angka kejadian stunting pada anak balita melalui survey penentuan status gizi (PSG) serta melakukan upaya peningkatan pengetahuan ibu terkait penyebab dan dampak terjadinya stunting.

2) Puskesmas perlu mengadakan kegiatan penyuluhan bagi ibu anak balita terkait upaya untuk memenuhi status gizi dan meningkatkan status kesehatan.

3) Peningkatkan pelayanan kesehatan bagi puskesmas melalui kegiatan deteksi dini dengan mengukur tinggi badan anak balita secara rutin setiap bulan.

4) Masyarakat perlu meningkatan asupan makanan yang banyak mengandung zink, terutama sumber bahan makanan hewani serta memperhatikan pengolahan bahan makanan dengan baik dan benar.    

     Secara langsung masalah gizi disebabkan oleh rendahnya asupan gizi dan masalah  kesehatan. Selain itu asupan gizi dan masalah kesehatan merupakan dua hal yang saling mempengaruhi. Adapun pengaruh tidak langsung adalah ketersediaan makanan, pola asuh dan ketersediaan air minum (bersih), sanitasi dan pelayanan kesehatan. Seluruh faktor penyebab ini dipengaruhi oleh beberapa akar masalah yaitu kelembagaan, politik dan ideologi, kebijakan ekonomi, dan sumberdaya, lingkungan, teknologi, serta kependudukan.

      Untuk menentukan stunted pada anak dilakukan dengan cara pengukuran. Pengukuran tinggi badan menurut umur dilakukan pada anak usia diatas 2 thaun, Antropometri merupakan ukuran dari tubuh, sedangkan antropometri gizi adalah jenis pengukuran dari beberapa bentuk tubuh dan komposisi tubuh menurut umur dan tingkatan gizi yang digunakan untuk mengetahui ketidakseimbangan protein dan energi. Anak yang menderita stunting berdampak tidak hanya pada fisik yang lebih pendek saja, tetapi juga pada kecerdasan, produktifitas dan prestasinya kelak setelah dewasa, sehingga akan menjadi beban negara. Selain itu aspek estetika, seseorang yang tumbuh proporsional akan kelihatan lebih menarik dari yang tubuhnya pendek.

      Kejadian balita stunting dapat diputus mata rantainya sejak janin dalam kandungan dengan cara melakukan pemenuhan kebutuhan zat gizi ibu hamil artinya setiap ibu hamil harus mendapatkan makanan yang cukup zat gizi, mendapatkan suplementasi zat gizi (tablet Fe) dan terpantau kesehatannya. Selain itu setiap bayi baru lahir hanya mendapat ASI saja sampai umur 6 bulan (eksklusf) dan setelah umur 6 bulan diberi makanan pendamping ASI (MPASI) yang cukup jumlah dan kualitasnya. Ibu nifas selain mendapat makanan cukup gizi juga diberi suplementasi zat gizi berupa kapsul vitamin A. Dengan pelayanan kesehatan dan gizi paripurna diharapkan mencapai tumbuh kembang yang optimal serta mengatasi bayi stunting pada Seribu Hari Pertama Kehidupan.






Link Pemerintahan


Link Lainnya